Sabtu, 27 Februari 2010

"Pahit-pahit dulu dimakan, berharap, di akhir menelan yang Enak-enak" (catatan yeti.com)


Sengaja, quotation di atas saya ambil sebagai judul. Kalimat provokatif yang terasa sungguh bermakna itu keluar dari Rhenald Kasali, motivator terkemuka negeri ini, yang juga dikenal sebagai bintang produk Tolak Angin.

Malam minggu yang sumringah, sekaligus hening,karena memilih tempat sedikit sunyi dari hingar bingar keramaian, saya putuskan untuk membuka album kliping punya si Mas. Mata saya tertahan pada feature tentang Rhenald Kasali.

.......................................................................................
Ingatan saya melayang pada 10 tahun silam. Saat memulai kehidupan baru dengan status mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Rhenald Kasali, adalah figur paling "dihafal" oleh mahasiswa jurusan kami, karena buku-buku yang ditulis beliau kerap dijadikan referensi oleh para dosen kami. Manajemen Public Relations, Manajemen Periklanan adalah "buku wajib" bagi kami untuk masuk dunia PR dan periklanan. Di luar itu, saya juga sempatkan hunting buku Rhenald lainnya, seperti Sukses Melakukan Presentasi.

Saking "cintanya", pada beliau,saya kerap membaca buku-buku itu lagi meskipun sudah tidak lagi kuliah. Saya juga masih ingat, ketika dulu pernah "ngarep" suatu saat dapat bertemu beliau yang alumnus Fakultas Ekonomi (FE) bukan Komunikasi, hehehehe Universitas Indonesia (UI) itu.

Waktu berjalan, dan impian bertemu Rhenald menjadi dokumentasi dalam ingatan saya yang menua. Kiprah beliau saya monitor melalui media saja.

.... Hingga suatu hari, awal tahun lalu, ketika ada kesempatan mengikuti perkuliahan di IMPULSE Jogja, Tuhan memertemukan saya dengan sang guru, Rhenald Kasali.
Ceritanya, saat itu, sebagai acara rutin trimester, digelar orasi ilmiah dengan dosen tamu ahli di bidangnya.

Acaranya berlangsung malam minggu, di kampus teduh Kanisius Jogja. Dengan semangat 45, meskipun Jogja diguyur gerimis, saya berangkat ke kampus. Tema orasi yang memikat, saya lupa judul persisnya, tapi temanya mengenai manajemen komunikasi.
Alhamdulillah, saya dapat posisi strategis. Seat saya tepat di meja podium Rhenald berorasi.

Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan. Betapa harapan berjumpa dengan Rhenald yang pernah menempuh pendidikan di USA itu, dijawab-NYA justru ketika saya tak lagi menjadi mahasiswa Komunikasi.

Selama hampir dua (2) jam, Rhenald "bercerita" dengan sangat provokatif dan inspiratif. Di akhir kuliahnya, beliau memutarkan film yang juga sarat pesan cerdas dan bijak, Kung Fu Panda.

Usai menuntaskan kuliahnya, Rhenald yang malam itu, sungguh terlihat cakep, hehehehhe, menyalami beberapa mahasiswa, termasuk saya. Beliau menjabat tangan saya dengan hangat dan mantap. Seulas senyum ia lontarkan, sambil menatap saya, beliau berujar, "Lanjutkan perjuangan!". Terasa begitu indah dan dalam. Benar-benar cinta!

Saya yang tadinya ingin meminta tanda tangan (kebiasaan mahasiswa kalo ketemu seleb, hehehehe..) urung demi mendengar kata-kata beliau.
Sungguh saya tak dapat melupakan malam itu!

.......

Malam ini, membaca lagi catatan hidup beliau dan falsafah hidupnya yang begitu "sahaja".
Ia menjalani hidup dengan penuh ketulusan. Sebagian besar hidupnya di-dedikasikan untuk untuk berbuat positif pada sesama.
Baginya, ketulusan dalam melayani orang lain menjadi prioritas. "Saya bertemu dengan banyak tipe manusia. Biasanya, dengan menatap matanya, ada intuisi dalam hati yang memberi tahu orang itu tulus atau tidak," ujar Rhenald.

Ia bertutur, "kesaktian" itu tidak diperoleh dalam waktu singkat. Ibunyalah yang mengajarkan Rhenald kecil untuk tidak pernah sekalipun meremehkan orang lain, siapapun dia.

Rhenald juga bertutur, ketika menempuh SD, dia sempat tak naik kelas. Baginya, peristiwa itu sangat memalukan dan membuatnya terpukul. Apalagi saat itu, orang beranggapan, bahwa tak naik kelas berarti bodoh.

Namun Rhenald kecil tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Dia lantas berintrospeksi dan rajin belajar untuk mengejar ketertinggalannya. Di samping ia mengimbanginya dengan berdoa.
Doa yang diajarkan orangtua dan selalu diucapkan oleh ibunya, begini "Tuhan, memang anak saya mampu, berikan dia kesempatan,". Doa sederhana namun indah.

Rhenald mengakui, peran sang ibu teramat besar. Ia ingat sempurna, betapa sang ibu kerap menjemput di sekolah dan memboncengkannya naik sepeda kayuh. Sang ibu pernah mengajak Rhenald ke pasar Taman Puring dan membelikan sepasang sepatu bekas untuknya. Katanya, orang tuanya tidak mampu membeli sepatu baru, karena anaknya lima orang.

Kebesaran Tuhan-lah serta semangat untuk terus belajar membuatnya tidak berhenti pada satu titik. Usai menamatkan pendidikan di FE, UI, Rhenald berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study. Ia tidak bermodal uang, seperti anak-anak lainnya. Ia hanya modal "fight" dengan berjuang cerdas mendapatkan beasiswa.

Rhenald menabung kesulitan di awal hidupnya. Ia lakukan dengan ketulusan dan berharap di akhir, akan mengecap yang enak-enak.
Ia membuktikannya kini. Betapa uang dengan mudah "menghampirinya". Namun dengan rendah hati, Rhenald bertutur, orang yang membayar dia dengan mahal, sebenarnya untuk "membeli" waktunya. Karena ketika ada permintaan untuk menjadi pembicara, dsb, dia tengah mengerjakan pekerjaan lainnya, seperti menulis buku.

Uang banyak yang mengalir ke kantongnya, tidak hanya dinikmati sendiri. Bersama sang istri, Rhenald berbagi melalui charity dan membangun perpustakaan serta posyandu. Di samping ia memiliki UKM untuk memberdayakan masyarakat sekitar rumahnya yang putus sekolah.

Sebuah tauladan indah yang layak kita inspirasi. Mari kita mensyukuri hidup ini, melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya disertai rasa tulus dan ikhlas. berani mencecap "rasa pahit" kehidupan. yakin, suatu hari nanti, rasa pahit itu menjadi rasa lezat tak terkira.


Salam Semangat!

Tulisan ini diperkaya dari sumber Jawa Pos.

Inilah Rumah Kami: Laksana Cinta

Inilah Rumah Kami: Laksana Cinta

Laksana Cinta

...

Selalu saja,
seolah berdenting seperti piano
yang memainkan irama klasik
Seperti gemuruh ombak hendak mencumbui bibir pantai
Hatimu yang menyenandungkan riuh kasih sayang
Teramat sungguh,

Betapa waktu menjadi indah
bahkan ketika kita teramat letih dan lelah
Hati kita saling menghapus penat
menjadi keyakinan tak terbendung

Ah, hanyalah seuntai asa
coba kita rangkai
kelak, di ujung badai
tangan kita semakin saling menggenggam
dan ketika hujan begitu indah
hati kita bertaut hangat...

selalu,


Blogger Layouts by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Landscapes Design