Senin, 22 Februari 2010

Mari Membumikan Tradisi Menulis!

MEMBACA berita koran ini Rabu, 10 Februari halaman 44 bertajuk Siswa TK Belajar Ilmu Koran, seolah menerbitkan keyakinan saya tentang impian sebuah dunia yang dipenuhi generasi cinta baca dan menulis bukan lagi sekedar mimpi. Kegembiraan 350 anak-anak SDIT Bina Insan Cendekia (BIC) Pasuruan, belajar seluk beluk dunia koran seperti menjadi “ruh” bagi tumbuhnya generasi penerus yang mencintai tradisi intelektual. Setidaknya saat ini menjadi pelipur di tengah keprihatinan bahwa di tengah pesatnya kemajuan teknologi yang berimbas pada ditinggalkannya dunia membaca dan menulis, masih ada bibit-bibit penerus bangsa ini yang memiliki rasa keingintahuan dan keinginan untuk belajar bagaimana menjadi pencatat sejarah di masa depan.

Kenapa begitu? Ya! Derasnya perkembangan teknologi informasi dengan segala hiruk pikuknya saat ini seolah menjadi milik siapa saja. Tumbuhnya media televisi yang menyuguhkan tontonan 24 jam menyita waktu anak-anak, remaja hingga orang tua untuk tidak beranjak dari depan kotak ajaib yang disebut pakar komunikasi Universitas Padjajaran Bandung, Djalaluddin Rahmat sebagai Tuhan kedua. Tak cukup itu, lahirnya televisi kabel pun seolah menambah marak jagat hiburan. Kini, “kemeriahan” itu ditambah lagi dengan “dunia maya” yang kian meninabobokkan siapa saja yang bisa mengaksesnya. Akibatnya apa? Sudah bisa ditebak, anak-anak lebih tertarik nonton televisi atau main games dan internet daripada membaca atau menulis.

Menjadi pemandangan biasa, bila kini generasi muda yang notabene pelajar lebih menggemari berkunjung ke warnet atau game zone bukan ke perpustakaan atau toko buku. Bagi mereka yang mampu membeli gadget, semakin lebih mudah dalam mengakses dunia cyber itu. Bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Cukup sekali sentuh, ribuan bahkan jutaan situs dapat ditelusuri dengan instan. Tanpa perlu berburu data ke lapangan atau perpustakaan.

Setali tiga uang, pelajar dan mahasiswa yang sehari-harinya berkutat dengan tugas paper, makalah dan karya tulis lainnya, kesulitan untuk menuangkan ide atau gagasan mereka dalam dunia tulisan. Bahkan akhirnya memilih jalan tempuh dengan membayar orang untuk mengerjakan tugas menulisnya. Ironis!

Di kalangan pendidik pun, kerap kita jumpai betapa sulitnya menggugah semangat mereka untuk menulis. Bahkan menjadi beban tersendiri ketika mendapatkan tugas untuk menghasilkan karya tulis sebagai syarat untuk mengajukan usulan sertifikasi. Ini dimaklumi, guru berkutat dengan aktivitas mengajar sehingga “lupa” bahwa sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan karya tulis untuk dibagi kepada khalayak.

Menulis, bila dipahami, merupakan sebuah proses kreatif untuk melahirkan ide maupun gagasan brilian sekaligus transfer of knowledge bagi pembaca. Ini sebuah proses tidak mudah. Itu sebabnya, sebelum menulis, seorang penulis perlu melakukan observasi maupun riset kecil-kecilan. Kenapa begitu? Agar tulisan kita kaya dengan referensi, “tepat” sasaran dan mampu memberikan pengaruh positif bagi pembaca.

Memang, aktivitas menulis ini membutuhkan waktu cukup serta kesabaran dalam berproses menghasilkan tulisan berbobot dan mampu menginspirasi. Namun jika terus menerus dilatih dan menjadi kebiasaan, maka kegiatan ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bukan tidak mungkin, aktivitas ini bila terus dipupuk akan menghasilkan nilai ekonomi dan tentu saja kebanggaan tersendiri karena mampu memberikan pencerahan bagi banyak orang.

Kebiasaan menulis bisa dimulai sejak dini. Sejak anak-anak mulai kenal dan diperkenalkan dengan alfabet. Bisa dimulai dengan mengajak anak untuk mencintai baca. Memang, dalam proses ini, orang tua sangat berperan dalam membidani kelahiran generasi yang cinta baca dan menulis. Orang tualah yang menjadi pusat bagi anak untuk kenal dengan tradisi baca tulis. Bagaimana mungkin seorang anak akan suka dan cinta baca dan menulis jika kedua orang tuanya lebih asyik nonton televisi atau main internet? Disadari atau tidak, perilaku dan kebiasaan anak adalah cerminan seperti apa kedua orang tuanya dalam bersikap dan berperilaku.

Mengakrabkan dunia baca dan menulis sebenarnya sama mudahnya dengan mengenalkan mainan pada anak-anak. Saat ini sudah banyak buku yang dikemas dengan tampilan menarik dan menggugah keingintahuan anak untuk “menyentuh”, dan “bermain-main” dengannya.

Mengenalkan betapa asyiknya membaca dan menulis pada anak-anak, semudah memilihkan makanan sehat dan bergizi pada mereka. Pada fase inilah peran serta orang tua dan guru di sekolah menjadi poin penting.

Guru di sekolah sekali waktu dapat mengajak anak didik untuk berekreasi cerdas dengan mengunjungi toko buku. Piknik edukasi juga bisa dilakukan dengan mengajak siswa bertandang ke media cetak. Seperti yang dilakukan para siswa SDIT Bina Insan Cendekia Pasuruan, belum lama ini dengan berwisata ke koran ini. Di penerbitan, siswa diajak untuk mengenal lebih dekat dunia persuratkabaran. Kegiatan semacam ini selain menambah wawasan juga melatih rasa percaya diri anak. Kenapa? Karena pada kesempatan itu, siswa dapat mengajukan pertanyaan pada awak redaksi. Sebuah aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya, karena dibutuhkan mental meskipun hanya sekedar untuk bertanya.

Usai berkunjung ke toko buku, perpustakaan atau media, anak-anak diberikan tugas untuk menuliskan hasil kunjungan dengan gaya dan bahasa mereka sendiri. Anak-anak diberikan kebebasan untuk menuangkan idenya tanpa batas. Bisa menulis puisi, pengalamannya bertemu wartawan dan sebagainya. Hasil karya siswa dapat di pajang untuk diberikan komentar dan apresiasi. Dengan begitu, muncul rasa kebanggaan anak, bahwa mereka dapat menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh orang lain.

Dukungan media dalam hal ini juga dibutuhkan. Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab media untuk mencerdaskan bangsa, dapat diwujudkan melalui penyediaan kolom khusus untuk menampung kreativitas pembaca. Seperti kehadiran rubrik Colosseum koran ini setiap Minggu. Semoga ini akan menjadi embrio dalam “membumikan” tradisi menulis di masyarakat.

Alangkah indahnya dunia ini, jika di setiap sudut yang kita jumpai, dapat kita saksikan betapa antusiasnya anak-anak, remaja dan dewasa berjibaku dengan buku dan menulis. Mereka memadati perpustakaan dan toko buku untuk berburu informasi. Tentunya itu bukan impian semata, melainkan akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Mari kita tumbuhkan virus menulis dan mencintai membaca!

“Jika kita tidak mampu meninggalkan emperium sebagai warisan bagi generasi, maka tulisan-lah yang mampu kita tinggalkan sebagai bukti bahwa kita pernah ada.”

*Yeti Kartikasari,

Penulis lepas dan pemerhati pendidikan anak

Email/fb; ykartikasari@yahoo.com.


Tulisan ini dimuat di Jawa Pos Radar Bromo, Minggu, 21 Februari 2010


Blogger Layouts by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Landscapes Design